Jejak Pertama di Takengon

Sepertinya saya tidak bisa mengelak.

Jujur saya mengaku. Hal yang paling saya tunggu saat ikut suatu perlombaan di luar kota adalah agenda darmawisata nya. Ya, jalan-jalan. Namanya juga backpacker. Tapi jangan anggap saya tidak bertanggung jawab. Belajar keras untuk meraih hasil terbaik dalam kompetisi adalah prioritas. Itu bukan hanya sebuah amanah tapi juga sebuah pertarungan gengsi dan harga diri pada orang tua, guru, teman, dan diri. Selebihnya adalah urusan pribadi: berleha-leha  menikmati kota tempat diadakannya kompetisi. Berjuang keras lalu bersenang-senang. Cukup adil bukan ?

Takengon, 1 September 2010.

Nilai regu kami -saya, Kusum, dan Yuli— jauh mengungguli lawan-lawan kami. Kemenangan telak sudah kami raih. Dari cabang Fahmil Quran dalam event Tunas Ramadhan 1432 H, pemenangnya adalah Banda Aceh. Tuntas sudah perjuangan kami. Bergumul dengan lembaran-lembaran penuh hafalan. Surfing di internet mencari bahan lomba. Hasilnya impas: kemenangan ! Kini saatnya berleha-leha.

Setelah pembagian hadiah dan penutupan tadi sore, saya duduk di teras rumah penginapan kami ba’da salat maghrib. Dingin. Saya kencang kan resleting jaket tebal yang menyelimuti tubuh. Kota Takengon memang terkenal sebagai daerah dingin di Aceh. Tapi menurut pemilik rumah penginapan ini, dulu Takengon lebih dingin dari sekarang. Gila ! Kalau sekarang saja dingin nya bisa menggertak kan gigi, bagaimana dengan dulu ya ?

Acara Tunas Ramadhan ini diadakan di Bulan Ramadhan. Ketika teman-teman saya di Banda Aceh sedang berpanas-panasan dengan matahari bulan Ramadhan, saya malah lupa kalau saat ini sedang berpuasa. Tidak ada rasa haus –apalagi lapar– yang menyerang. Udara dingin Takengon menyerap itu semua. Malam Takengon lebih indah dibanding kota yang pernah saya tinggali: Banda Aceh dan Lhokseumawe. Sebagian tanah masih kosong tak dibangun rumah, otomatis polution light sangat sedikit. Bintang-bintang berserakan di langit masih terlihat jelas. Jalan nya pun lengang. Hingga pukul 9 malam, tak lebih dari 10 kendaraan yang lewat di depan jalan raya penginapan ini. Dan suara jangkrik masih banyak terdengar.

Tap ! Terasa ada yang menepuk bahu saya.

Yok pergi!” kata Kusum. “Kita diajak makan ke kota.

Wah, karena kontingen Banda Aceh meraih juara umum, kami diajak pergi ke pusat kota Takengon untuk merayakan kemenangan ini. Sebagai informasi, piala bergilir perlombaan ini adalah sebuah piala berlapis emas yang senilai dengan 38 juta rupiah. Gila ! Kontingen manapun pasti senang bukan main jika mendapatkannya.

Seperti yang saya katakan tadi, jalanan Takengon di malam hari sangatlah lengang. Dengan cepat, kami sampai di terminal kota Takengon. Ya, menyantap kuliner khas Takengon. Sial ! pertama kali terpikir, kenapa tempatnya semi-kumuh begini. Tapi saya mencoba untuk berdamai dengan nasib. Mungkin saja saya bisa mencicipi cita rasa takengon dari sudut-sudut pinggir kotanya. Mungkin saja.

Setelah puas menamatkan seporsi mie Aceh rasa Takengon —yang rasanya tak kalah hebat dari mie Aceh yang biasa saya makan di Banda Aceh— dan segelas besar bandrek susu, kami pun kembali ke penginapan untuk tidur. Bagi saya, tidur malam ini harus disegerakan. Karena besok adalah hari yang telah saya nanti sepanjang minggu ini: Darmawisata. Ya, Jalan-jalan.

Takengon, 2 September 2010.

Keesokan harinya, setelah puas mandi pagi di sebuah sungai di dekat rumah yang dingin nya na’uzubillah, kami pergi menyusuri alam dan budaya kota dingin ini. FIY, sungai nya berasap, gila dinginnya. Jalan-jalan ini di awali dengan berburu souvenir khas Gayo. Ada tas tangan buat ibu-ibu, baju adat Gayo, ikat kepala, kopi luwak —yang sudah pernah saya cicipi dan ternyata rasanya lumayan pahit, maklum saya bukan penikmat kopi— dan kopi gayo. Yang saya beli ? Tak kurang dari gelang khas Gayo ! Dengan motif unik dan warna khas Gayo —merah, hijau, kuning–, gelang ini terlihat keren di  pergelangan tangan saya. Amboi.

47468_1401470998628_8207121_n

Setelah itu perjalanan kami lanjutkan ke Gua Putri Pukes. Gua batu putri yang dikutuk itu berada di Loyang Putri Pukes —loyang merupakan sebutan untuk gua dalam bahasa aceh–. Konon katanya, putri ini jadi batu karena melanggar titah ibunya. Gua ini berada di wilayah Takengon, Aceh Tengah, tidak jauh dari objek wisata Danau Laut Tawar dan Loyang Karo. Kondisi gua ini sama seperti gua-gua pada umumnya: lembab dan dingin. Kata guide nya, kalau awal-awal tahun kadang ada sedikit air yang membanjiri gua ini. Katanya ya: “Untung datang pas bulan September”.

41249_1401493999203_4786900_n

Tempat ketiga yang kami tuju adalah ikon kota dingin ini. Danau Laut Tawar atau Danau Lut Tawar dalam bahasa penduduk di sini. Kami berhenti di sebuah taman yang berada tepat di samping Danau Laut Tawar. Taman ini terlihat cukup luas. Di taman ini, dibudidayakan banyak tanaman dan buah-buahan yang hanya bisa tumbuh subur di tempat yang sejuk. Semua tumbuhan itu tumbuh dengan subur. Ada apel, anggur, melon, tomat, buah naga, dan masih banyak lagi. Di sudut taman ini ada tangga batu yang posisinya menurun langsung menuju pinggir danau. Landai sekali. Kami pun turun ke bawah, persis di tepi danau.

Tes air nya dulu. Belum ke Laut Tawar kalau belum ngerasain air nya” ujar saya kepada teman-teman.

Semua nya setuju. Kaki kami celupkan ke dalam air. Beberapa ekor ikan depik, fauna khas Laut Tawar, terlihat berenang di sela-sela jari. Geli. Kakak pembina terlihat melambaikan ke arah kami. Kami harus kembali. Waktu bersenang-senang di Danau Laut Tawar telah usai. Karena telah waktu Zuhur, dalam perjalanan pulang kami singgah sebentar di bagian utara danau ini untuk salat dan menghabiskan makan siang yang sudah disiapkan sejak berangkat tadi pagi. Tempat kami singgah juga tepat berada di tepi danau. Perfect Lunch.

Malamnya, kami kembali menikmati kuliner kota dingin ini: bakso made in Takengon. Tapi kali ini hanya ber enam. Saya, Kak Adi, Kusum, Yuli, Kak Hajrah, Kak Yupi, dan Bang Sehatuntuk yang satu ini saya tidak berani memanggil kak :D— mencari warung bakso di sekitar rumah. Akhirnya kami menemukan sebuah warung yang terletak sekitar seratusan meter dari tempat kami menginap. Dan seperti kata saya tadi, jam masih menunjukkan pukul 20.35 malam tapi jalan sudah lengang. Setelah menghabiskan seporsi bakso, kami pun pulang dan tidur dengan perut kenyang.

Takengon, 3 September 2010.

Matahari baru saja naik. Salat Subuh baru saja ditunaikan. Hari ini kami pulang dan seharusnya saya sedang mengemas barang di backpack tercinta tapi ternyata fakta berbicara lain. Saya kembali bergemul dengan selimut. Tapi tidak lama. Sebelum pulang, pemilik rumah mengajak kami untuk berbelanja di pasar pagi. Kami setuju dan mobil pun dihidupkan.

Sesampainya di sana, saya tertegun sejenak. Orang-orang berserakan. Khas pasar. Ramai. Katanya mereka telah menjajakan dagangan nya bahkan ketika hari masih gelap. Luar biasa Takengon ! Kami berpisah sesuai dengan tujuan barang yang ingin kami beli. Saya berencana membeli buah Terung Belanda untuk ibunda di rumah. Beliau sangat suka Terung Belanda. Saya pun pergi ke salah satu penjual. Sialnya, si abang penjual tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya bisa bahasa Gayo. Bagaimana ini ? Saya pun tidak bisa bahasa Gayo. Tiba-tiba pemilik rumah mendatangi saya dan bertanya buah apa yang ingin saya beli. Setelah itu beliau berbicara dengan abang penjual itu dalam bahasa mereka.

3000 sekilo,dek” kata pemilik rumah.

What?!! Murah sangat!

Saya keluarkan uang 5000-an, dan abang penjual itu memberi saya kembalian dua lembar uang seribuan.

Enggak semua orang Gayo bisa Indonesia. Masih ada yang mau dibeli, biar bapak bantu bicara.” kata pemilik rumah

Enggak pak. Ini saja. Makasih banyak ya pak” ucap saya.

Oh, kalau gitu bapak ke tempat yang lain ya

Iya pak. Terima kasih

Rupanya begitu. Di Gayo ternyata ada juga yang tidak bisa indonesia.

Setelah semua kembali ke mobil, kami pun pulang ke rumah penginapan untuk bersiap pulang ke Banda Aceh. Dan sesaat sebelum pulang, masih ada kejutan dari kota ini yang terjadi. Kebun milik bapak pemilik penginapan baru saja panen. Dan ada sekarung penuh jeruk yang tersisa. Saya pun menawar jeruk itu. Bapak itu mengizinkan saya membawanya pulang dengan harga yang sangat murah. 8000 perak.

Dan dengan sekarung jeruk itu, perjalanan saya di Takengon berakhir.

58492_1401020907376_7095650_n

Foto-foto oleh: Syahrul Fuadi

9 thoughts on “Jejak Pertama di Takengon

    • Saya pernah baca di internet kenapa namanya laut tawar. Menurut artikel itu, disebabkan karena kalau dipandang dari sisi mana saja, luasnya hampir menyerupai laut, tapi tidak asin alias tawar. Gitu mas..

      Like

  1. […] Sepertinya saya tidak bisa mengelak. Jujur saya mengaku. Hal yang paling saya tunggu saat ikut suatu perlombaan di luar kota adalah agenda darmawisata nya. Ya, jalan-jalan. Namanya juga backpacker. Tapi jangan anggap saya tidak bertanggung jawab. Belajar keras untuk meraih hasil terbaik dalam kompetisi adalah prioritas. Itu bukan hanya sebuah amanah tapi juga sebuah pertarungan … Continue reading » […]

    Like

Leave a comment