Langit Adalah Kitab Terbentang

tumblr_inline_musxkx6MOK1rgi6p3

Dalam ingatan masa kecil saya, cita-cita yang paling menghujam adalah menjadi astronot. Saya tidak perduli jika itu membutuhkan waktu yang lama dan orang berkata bahwa itu tidaklah mungkin. Yang saya inginkan hanyalah melayang-layang dalam ruang gelap hampa, menyentuh gemintang, berada jauh di atas langit dan melihat bumi jauh di bawah sana. Dan mungkin karena bayangan angan masa kecil itu sekian tahun saya berjalan dalam hidup, semua hal yang berkaitan dengan pergerakan benda-benda di angkasa sana selalu menarik perhatian saya.

Saya selalu senang melihat benda langit. Mereka adalah makhluk yang misterius, jauh di atas sana sekaligus…menggoda. Manusia sejak dahulu mengamati bintang. Mereka menciptakan gambaran ilusi konstelasi dan menggunakannya sebagai penunjuk mata angin. Mereka menghitung laju persebaran, selisih dan luas jarak antara planet. Mereka menamai tempat-tempat asing yang dipanggil ‘planet’. Mereka merasakan dan mempelajari tingkah lakunya sebagai bandingan terhadap perubahan musim dan alam.

Diam-diam dalam sekam saya selalu ingin pergi ke observatorium dan melihat benda-benda jagat raya menggunakan benda aneh yang sangat hebat penglihatannya: teleskop. Sebenarnya ada satu observatorium di dekat tempat saya tinggal yang merupakan observatorium terlengkap kedua di Indonesia. Lokasinya di Lhok Nga. Kawasan pantai yang terkenal dengan alamnya. Namun sayang kendala waktu dan minimnya data membuat saya sejenak melupakan keinginan itu. Sampai suatu ketika salah seorang guru mengajak saya dan beberapa teman ke sana. Beliau adalah salah satu pengurusnya.

Dan keinginan masa kecil yang sudah terkubur dangkal serta merta kembali menguncup…

Lhok Nga, Agustus 2013 [22:13 PM]

Mula-mula terang benderang lalu sedikit demi sedikit kegelapan mencekam mulai mengetuk-ngetuk jendela…

Kami menebas jalan kota yang mulai lengang dengan sebuah mobil. Layaknya kota besar yang lain keadaan malam Banda Aceh masih menampakkan sedikit geliat materialis. Warung-warung kopi masih mengepulkan asap aroma khas minuman hitam dan anak-anak muda berboncengan kesana-kemari mengeber motor. Sebuah pentas zaman yang bergulir ke arah bawah.

Sampai di pinggiran kota keadaan sudah berubah menjadi sepi. Hanya sedikit suara yang terdengar. Bang Hendri mencoba menyemarakkan suasana dengan menghidupkan radio mobil. Di bahunya tersampir sebuah tas cangklok berisi kamera DSLR: tujuannya pergi bersama kami. Dia ingin memotret langsung benda-benda langit melalui teleskop yang terhubung ke kameranya melalui sebuah kabel. Ternyata begitulah para fotografer angkasa menjepret langit. Sebuah pengetahuan yang baru saja saya ketahui.

Hampir setengah jam kami melaju sebelum akhirnya guru saya membelokkan mobil ke arah jalan kerikil yang ditutupi rerumputan liar di kedua sisinya. Rumah penduduk hanya nampak satu dua dan terletak jarang-jarang. Beliau terus menggilas jalan sebelum akhirnya masuk ke halaman sebuah gedung dan berhenti. Kegelapan menyelimuti dan sepi memeluk erat tubuh kami. Sebuah tempat di cengkeraman kelam. Kami tiba di observatorium.

“Hati-hati di belakang kalian,”Bang Hendri mencoba menakuti. Tapi sedikitpun tidak terpengaruh karena kami sedang berusaha mengusir kantuk yang mulai menjajah. Di depan halaman yang hanya ditumbuhi beberapa bunga kertas, sekelompok orang terlihat bercengkrama sembari sekali-kali melihat ke teleskop. Kami berjalan ke arah mereka ketika salah seorang mereka menegur kami.

“Hei, kalian kok..” salah seorang guru saya yang lain menyapa sambil tersenyum. Beliau juga merupakan salah seorang pengurus tempat ini. Tangannya mengajak kami untuk pergi ke arah kerumunan. “Mereka anak Unsyiah   ,” Unsyiah itu tak lain adalah sebuah perguruan tinggi di Aceh.“Mereka datang untuk mengerjakan tugas. Biasa anak MIPA..”

“Coba lihat ini!” beliau menyuruh kami melihat sebuah teleskop. Mata kami berebutan berjejalan di lensanya. Apa yang ada bagian lain di ujung teleskop ini membuat saya terpekik. Jauh di ujung sana dengan indah dan kemayunya benda ini berdiam diri dalam sendiri, tak mau diganggu dan sedikit angkuh. Simetris benda yang melingkar mengelilingi perutnya semakin membuatnya mempesona. Teman, akhirnya saya berjabat tangan dengan planet Saturnus!

Setelah puas melihat liku cincin saturnus yang sombong, kami memasuki gedung dan langsung naik ke lantai paling atas. Teleskop-teleskop di lantai ini lebih baik dari yang kami lihat di bawah tadi. Guru saya menunjukkan sebuah teleskop robotik dan dengan tepat menujukkan planet Saturnus yang tadi terlihat.

Kami turun dan menemukan bulan sudah setinggi mata memandang padahal ketika kami pergi bulan masih belum tampak. “Itu karena bulan juga beredar mengelilingi bumi…”salah seorang mahasiswa memberi tahu kami. “Mau lihat?” dia bertanya. Kami mengangguk mengiyakan. Kemudian dia memberikan sebuah teleskop dan mengizinkan kami melihat telanjang wajah bulan yang berkawah indah.

“Langit tidak pernah berubah…”Guru saya bercerita,“Mereka terbit terbenam bergantian dalam rentang waktu yang senantiasa tepat.” 

Saya terperangah.

Begitu luasnya dan betapa sepuhnya langit. Mereka merekam jejak dan tabiat makhluk bumi ini sejak baru saja tercipta. Ketika zaman arkaikum hingga neozoikum, langit senantiasa merentangkan sayapnya dan menyapukan pandangan pada aktivitas di bawah. Dan sepanjang senarai zaman bergerak tidak sedikitpun benda angkasa menyalahi kodratnya. Satu hal yang membuat hipotesa Harun Yahya berhasil mendobrak keyakinan para Darwinisne. Tidak heran karena sekecil apapun gerak-gerik di atas sana terkalkulasi dengan sangat cermat oleh Penciptanya.

Malam ini ingin saya jadikan salah satu rangkaian malam hebat yang terpatri kuat dalam ingatan. Di malam-malam seperti inilah para manusia terdahulu mengagumi langit dan senantiasa bermimpi untuk menjamahnya. Malam ini ingin saya jadikan barisan kata-kata puitis langit yang tidak akan pernah jatuh terbang ke atas bumi.

Karena cukup bagi saya menyentuh lintang dari bawah sini, setidaknya cita-cita masa kecil itu sudah tercapai…

6 thoughts on “Langit Adalah Kitab Terbentang

Leave a comment