The Beginning: Simpul Di Atas Awan

Saya dan kita semua senantiasa terkesan dengan masa kanak.

Sewaktu saya kecil, kata luar negeri punya makna yang jauh melampaui pemikiran. Saya berpikir betapa jauhnya luar negeri, melewati batas antar planet, melintasi kabut-kabut nebula yang telah saya kagumi sejak baru bisa membaca. Dari buku-buku yang saya baca, luar negeri menggambarkan kata perbedaan, saat kita bertemu dengan rupa manusia yang berbeda-beda maka betapa hebatnya tanah di luar sana!

Kemudian hari saat bencana tsunami menghantam, ayah saya diminta bergabung dengan salah satu badan rehabilitasi bencana dan sering meninggalkan kami bepergian ke berbagai kota di Indonesia. Saat dia pulang, kami diceritakan tentang hebatnya kota-kota itu. Bahwa letaknya jauh meloncati beberapa kepulauan, dengan makanan yang berbeda rasanya, irama azan yang unik dan dengan bahasa yang berlainan. Sembari membagikan oleh-oleh ayah mengabarkan tentang kota tersebut. Saat ayah bercerita, saya menangkap rasa rindu yang begitu menyeruak pada kehidupan kota di sana. Dan saat itu pula keinginan saya untuk pergi ke sana tumbuh berkecambah. Di tiap kisah yang ayah tuturkan, saya selalu menyelipkan sekeping doa berharap semoga saja tapak saya juga akan menjejas tiap langkah yang ayah susuri di kota-kota itu.

Dan ya, Tuhan cukup senang dengan kata kejutan.

Beberapa tahun setelahnya, untuk pertama kalinya saya duduk di bangku pesawat dan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta untuk mengikuti sebuah perhelatan. Jakarta telah saya injak. Setahun berselang, Saya menghirup aroma tanah Batam dalam balutan hutan perkemahan pramuka. Beberapa bulan kemudian saya akhirnya menikmati rasanya menaiki angkutan umum bentor di hiruk pikuk Gorontalo.

Untuk sesaat saya mengucap kebesaran Tuhan.

Lalu kemudian, saat melihat samar bayangan bangunan Marina Bay Hotel dari pantai Batam, saya berdoa sedikit nakal: Mungkin saja Malaysia atau Singapura menjadi negeri pertama yang akan saya tapaki dengan genggaman passport! Tahun berganti, dan Tuhan ternyata mendengar doa saya namun dengan sedikit hadiah yang berbeda…

***

 Banda Aceh — Kuala Lumpur, 23 April 2014 [12:53pm]

Saya baru saja menghabiskan setangkup nasi lemak yang disediakan awak kabin pesawat, salah satu nasi terlezat yang pernah saya nikmati. Di dalam pesawat. Di atas awan. Dua orang karib di sebelah kanan saya tengah memutar playlist di smartphone dan berbagi kabel earphone bersama. Saya melihat ke barisan kabin yang memanjang ke belakang. Banyak teman saya yang terlelap dan mengapitkan kedua lengan di antara ketiak mereka, tidak sedikit pula yang memilih untuk membuka lembaran inflight magazine. Beberapa mencoba untuk menghilangkan mual dengan berbincang dengan karib di sebelahnya.

Saya membusurkan senyum samar, “Sepertinya perjalanan ini akan terasa menyenangkan..”

Kami menikmati perjalanan ke Kuala Lumpur dan Singapura dalam rangka study tour; revisi: traveling. Proses penyusunan agenda yang telah kami mulai sejak pertengahan semester saat baru saja menduduki kelas X ini, merupakan salah satu hal paling prestisius yang pernah kami lakukan. Secara berkala kami berkumpul, menghitung berapa rezeki yang tersisih, merancang rute perjalanan, dan melobi tetua untuk merestui kepergian. Sebuah perjuangan, jika boleh saya katakan. Dan di sini di antara selaput awan, saya bersyukur ternyata perjuangan itu berbuah manis. Lebih manis dari manisan termanis yang pernah kami cicipi.

“Mir!” teman saya menepuk bahu kanan, membuyarkan lamunan, lalu menunjuk-nunjuk ke luar jendela kecil yang berada di sisinya. Saya melihat melalui jendela itu dan seketika tenggelam dalam euforia kecil saat pertama kali duduk di bangku pesawat. Terpesona oleh gegap-gempita gerombolan awan-gemawan!

10300958_775564472462998_2605918737856686967_n

Saya bukanlah orang yang senang dengan perjalanan udara. Beberapa kali menjadi bagian dalam lawatan udara terseringnya membuat saya jeri karena mual. Saya lebih suka mengisi waktu dengan membaca buku ataupun menghabisinya dengan terlelap, berharap waktu berputar lebih cepat menabrak segala bentuk hukum fisika agar pesawat ini segera mendarat. Namun kali ini, sepertinya saya tidak ingin tertidur.

Langit berpendar kebiruan kobalt mengeratkan genggaman pada kawanan awan putih. Layaknya permadani salju putih yang sering saya saksikan di televisi, Tuhan sedang mewarnai lukisan langit dalam kanvasNya yang Maha Agung. Saya terpukau. Siang itu langit membirukan sekeliling permadani itu, pesawat terbang perlahan di antara awan putih layaknya berenang di kolam kapas dan kami bertiga tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera.

Saya bukanlah orang yang senang dengan perjalanan udara, tapi tampaknya saya mungkin menyukai pemandangan yang disajikan dalam pelayaran di atas awan. Di atas sini kita mungkin merasa tinggi, tapi di saat yang bersamaan kita merasa sangat lemah begitu menyadari betapa kecilnya kita saat menginjak bumi di bawah sana..

s.jpg

 

Pilot menghidupkan lampu tanda memakai sabuk pengaman. Kepulan awan memudar seiring turunnya ketinggian pesawat. Dari seat, kami dapat melihat bibir pantai yang bergelung di sapu ombak, bangunan-bangunan yang berbaris rapi, pencakar-pencakar langit yang terasa dekat karena ketinggiannya. Kapal-kapal kargo bergerak perlahan di atas laut Malaka meninggalkan buih putih di bagian buritan.

Hampir sejam kami mengapung di langit dan Malaysia semakin kentara saja adanya. Mungkin bagi sebagian orang berjalan ke Malaysia bukanlah hal yang perlu dibanggakan akibat dekatnya jarak yang memisahkan. Tapi bagi saya perjalanan ke Malaysia bersama karib yang telah berbagi sepiring nasi bersama selama 6 tahun di dayah adalah salah satu puncak cita-cita yang saya angankan. Garis waktu melengkung mempertemukan kami semua 6 atau 3 tahun yang lalu, namun sekarang sepertinya garis-garis kami akan saling menutupi untuk selanjutnya berpisah dan bersinggungan dengan garis hidup yang lain. Apapun garis yang Tuhan tuliskan nantinya, saya hanya berharap semoga perjalanan ini menjadi simpul pengikat yang sempurna bagi kami semua.

Saya tidak sabar menghadapi kejutan dalam perjalanan yang akan tercipta.

So, here comes Malaysia!

s2.jpg

6 thoughts on “The Beginning: Simpul Di Atas Awan

  1. Perjalanan itu memang harus meninggalkan makna bagi pejalannya :)

    Salam kenal kak, dari anak Pacitan :))

    Like

Leave a comment