Masjid India: Melinearkan Perbedaan!

Pernahkah terlintas dalam benak, mengapa kita diciptakan berbeda?

Saya tidak tahu apakah kalian telah begitu seringnya mendengar gaung pariwisata Malaysia yang berjargon “Truly Asia”. ‘Asia sebenarnya’ menjadi dua buah kata yang berpondasi pada kenyataan kultur keseharian mereka: tiga bangsa peranakan terbesar [Melayu, Tamil, dan Tionghoa] hidup berdampingan dengan hak-hak yang berlinear. Negara Malaysia yang berada di lokasi strategis bagi aktivitas perlayaran menjadi sebuah rendezvous, tempat yang banyak disinggahi oleh para pedagang Gujarat, Tionghoa, dan [tentu saja] Melayu. Layaknya lampu terang yang disesaki laron, Negeri Malaya ini berubah menjadi dermaga yang sibuk. Satu persatu wajah-wajah baru yang datang dari tanah lampau jauh di seberang lautan membawa harapan untuk mengubah kehidupan.Kondisi geografis yang berdekatan dengan Tionghoa di sebelah utara dan India di sebelah barat membuat akumulasi keragaman semakin meningkat. Dan saat perniagaan telah selesai tergelar, layar demi layar pun kembali terkembang menuju kampung halaman meninggalkan mereka yang memilih untuk bertahan.

Sejarah Malaysia juga tak bisa bersembunyi dari penjajahan yang dilakukan oleh Koloni Inggris. Pemukiman Koloni ini dibentuk pada tahun 1826 dan sedikit-demi sedikit menyebarkan pengaruhnya ke tiap-tiap kerajaan kecil yang telah berdiri di sepanjang semenanjung sampai akhirnya setiap kerajaan serta negeri-negeri kecil  itu bersatu membentuk Malaysia, persekutuan Malaya, pada September ’64.

***

Dalam hukum alam yang saling berkebalikan, setiap atom kecil mempunyai pasangan yang berlawanan…

Pernah saya berjalan pada suatu sore di kawasan Jalan Masjid India menikmati pergumulan hidup manusianya. Saya melangkah senyap, melintasi kerumunan orang bergerak tergesa-gesa menyeksamai pakaian jadi, alat elektronik, dan perlengkapan ibadah, dilatari julangan Menara KL yang menguasai langit Kuala Lumpur. Deretan toko berjejer di sepanjang jalan raya yang membelah pertokoan ini menjadi dua bagian, layaknya barisan tamtama yang serasi namun dengan warna-warni lampu neon yang meriah. Para pedagang menawarkan barang-barang saat kami melewati depan toko mereka, yang hanya bisa saya balas dengan sebusur senyuman atau sepatah kata ‘maaf’.

Izinkan saya bertanya terlalu dini untuk hal yang sering tak terduga jawabannya; mengapa kita diciptakan berbeda?

Saya terus melangkahkan kaki menyusuri trotoar sempit yang terletak di bahu jalan saat retina saya menangkap dua sosok berlainan jenis berjalan bergandengan tangan sembari menunjuk-tunjuk julang menara KL. Semua terasa biasa sampai saya tersadar sang wanita merupakan seorang muslimah berkulit putih sedangkan sang pria adalah seorang brother muslim berkulit gelap. Seketika saya teringat kisah Bilal, sang muazzin berkulit hitam kesayangan Rasulullah yang menikahi seorang gadis berparas menarik atas permintaan Nabi Allah itu.

Saya masih terdiam memandang mereka sampai sang pria menghampiri saya, mengucapkan salam dan meminta  diambilkan sebuah jepretan foto antara dia dan istrinya. Saya mengangguk dan menerima iPhone putih dari tangannya. Dilatari dengan barisan gedung-gedung tinggi dan neon-neon bergantung aneka warna, saya melihat keduanya yang berdiri berdampingan dari layar smartphone ini dan menekan tombol shutter.  Ras mereka mungkin berbeda tapi saya tahu mereka telah disatukan Tuhan dalam ruang keimanan yang sama. Agama sungguh bergaung dalam kode-kode universal, melintasi batasan jarak, warna kulit, ataupun kebangsaan. Memberi arti dengan caranya sendiri.

Saya menunjukkan hasil gambar yang telah saya tangkap pada mereka dan pasangan ini tersenyum senang. Saya turut bahagia. Mereka mengucap terima kasih, ingin saya menjawabnya lebih dari sekadar ungkapan you’re welcome tapi lidah saya hanya mampu membalasnya dengan setangkup doa..

***

Kuala Lumpur, 24th April 2014 [18:03pm]

Matahari semakin rendah saja dan warna merah perlahan melukis langit. Maghrib telah tiba. Rasa penasaran akan kehidupan tempat ini membuat saya terlempar jauh dari jalan utama Masjid India. Saya berjalan menyusuri lorong-lorong sempit, melompati genangan-genangan air yang turun deras semalam, dan menegur beberapa warga berwajah melayu yang duduk sunyi di antara kios-kios kecil.

Azan mulai berkumandang dari arah Masjid India, saya mendengarnya dengan khidmat. Dengungan panggilan ibadah kaum muslimin ini selalu membuat saya rindu akan meunasah kecil tempat saya belajar mengaji dulu. Tiap getaran suara simfoni indah itu membuat saya berpikir, apakah nada yang mengharukan rasa, atau rasa yang mengalunkan indahnya nada? Ataukah mungkin rasa dan nada lah yang membangkitkan memori-memori silam?

Saya mempercepat langkah. Kalimat tahlil terakhir telah usai bersuara. Bangunan masjid itu telah terlihat. Beberapa meter lagi saya akan menginjak masjid tua yang diselimuti granit merah itu.

Masjid India yang merupakan masjid tertua di Kuala Lumpur pertama kali tercatat dalam peta pada tahun 1889 oleh WT Wood seorang pejabat pertanahan pada masa itu. Masjid ini awalnya hanya sebuah masjid kecil yang terbuat dari papan dan kayu. Sejarah bergulir dan dalam bentangan masa dua abad masjid ini  telah berkembang menjadi 3 lantai, dengan daya tamping sekitar 3000 jamaah.

Orang-orang telah berdatangan saat saya tiba, semakin memenuhi bagian dalam masjid yang berada di lantai 2, suatu hal yang seharusnya membuat saya bergegas berwudu, tapi seorang pria tua yang berjalan perlahan dengan sebatang tongkatnya membuat saya tercenung sejenak. Dia terus berjalan sampai tiba di sebuah ruangan kecil di bawah tangga. Sebuah kursi kecil membopongnya kala duduk, membuatnya terlihat semakin wibawa. Siapakah pria itu? Beberapa orang yang datang memberi sebuah tanggapan hangat padanya, yang ia balas pula dengan segaris senyuman menenangkan. Sampai di sini saya tidak berani  lebih jauh mengira.

Setelah menitipkan alas di sebuah wardrobe kecil yang terletak di samping tempat berwudhu, kemudian saya masuk…

Mata saya menyapu pelan bagian dalam ruangan sederhana ini. Ruangan salat tempat ini tidaklah sebesar gaung Masjid Raya Baiturrahman, tapi di antara beragam jamaah yang berlainan warna kulit saya dapat merasakan kehangatan yang sama dengan meunasah kecil tempat saya mengaji dulu. Karpet tebal berwarna biru menyelimuti lantai putih ini dari ujung-ujung, ke tiap-tiap sudut berwarna putih. Beberapa bingkai kaligrafi menghiasi tiap lekukan yang ada, memerangkap keindahan dalam pelukan dengung Ilahi. Di hadapan saya berdiri tegak sebuah mimbar kecil dengan sedikit undakan di bagian depannya. Kerlipan lampu Kristal memenuhi langit-langit masjid berasimilasi dengan ornamen aneka rupa.

Seorang pria tiba-tiba berjalan perlahan ke arah mihrab, dengan tenang dia mengambil sebuah mic berukuran kecil dan bersuara lembut dalam bahasa yang saya tebak merupakan Bahasa Tamil, bahasa yang lazim digunakan pada setiap Masjid India di negeri ini. Sang imam telah tiba. Seketika ratusan manusia merangsek maju membentuk shaaf.

Saya memandang seluruh manusia yang mengambil peran di sini. Saya melihat seorang Tamil besorban khas bangsa India menggandeng tangan mungil anaknya mengambil tempat di barisan terdepan, seorang pria tua berwajah Tionghoa memberikan ruang mempersilahkan keduanya mengisi tempat kosong yang ada di sampingnya. Saya merasakan tepukan halus di bahu kanan yang ternyata merupakan sapaan hangat seorang pemuda Melayu. Saya mendengar bait-bait iqamah dilantunkan oleh sang imam sendiri menggiring para jamah yang berasal dari berbagai suku dan ras untuk merapatkan barisan, padu menghadap Tuhan mereka. Sekali lagi saya bertanya, mengapa kita diciptakan berbeda?

Sekali lagi saya mengulangnya, ras mereka mungkin berbeda tapi saya tahu mereka telah disatukan Tuhan dalam ruang keimanan yang sama. Agama sungguh bergaung dalam kode-kode universal, melintasi batasan jarak, warna kulit, ataupun kebangsaan. Memberi arti dengan caranya sendiri.

Di antara kerlip lampu kristal, rapatnya jarak apit tumit dua orang yang tidak pernah saya kenali sebelumnya, alunan ayat-ayat Ilahi yang dikidungkan sang imam, pandangan saya menjadi luas tak terbatas. Semua tampak kecil namun di saat yang sama terasa besar dan tenang. Pria melayu tadi kembali menghampiri saya, membawa secangkir cerita tentang kota ini dan menitipkan salam hangat untuk semua kaum muslimin tanah kelahiran saya. Kami saling melemparkan kisah dan gelak mengalir begitu saja. Hanya ada keakraban yang tercipta dari sealiran darah bernama ukhuwah.

Untuk sesaat saya mengucapkan kebesaran Tuhan…

***

***

Saya menyenangi keramaian yang menenangkan, layaknya pulang ke kampung halaman saat Idul Fitri tiba dan menemui tiap-tiap wajah lama yang pernah terekam masa untuk kemudian berbagi gelak tawa yang telah lama tersimpan dalam karatnya jarak. Tapi di luar sangkaan saya Masjid India ini menunjukkan banyak hal yang mengarahkan saya menuju kenangan silam.

Maka semoga saja bentangan masa tidak merenggang terlalu lebar, agar saya bisa kembali ke masjid ini. Untuk berbagi persamaan keakraban dalam balutan perbedaan…

***

Saya turun melalui tangga masjid dan menghampiri pria tua tadi. Dia menyambut saya dengan ramah, namun mulut saya seperti terkunci tak tahu harus memulai perbincangan dari jalur yang mana. Pria tua tadi menyuruh saya mengambil sebuah kursi kosong yang ada di dekatnya untuk saya duduki.

Dia menatap wajah saya dengan seksama sebelum berkata,”K, cuba lah awak carita pasal kampong awak, Aceh…”

15 thoughts on “Masjid India: Melinearkan Perbedaan!

  1. Maafkan baru membaca tulisan ini, tetapi saya telanjur mencintai gaya bertuturnya. Saya belajar banyak, terima kasih sudah membuka cakrawala! :)

    Like

Leave a comment