Menyela Tangis

bede1e3cfa2911e28c1022000a9e08e0_7Geraham belakang saya tumbuh dengan sangat kurang ajar saat itu. Tak ada permisi, tak ada basa-basi. Gusi yang terus-menerus berdarah akibat robek oleh laju pertumbuhan gigi itu memaksa saya bertandang ke tempat praktik seorang dentist.

Saya menunggu dengan sabar sembari memegang pipi. Antrian agak sedikit panjang hari itu. Seorang anak menangis menjerit di pelukan ibunya yang duduk tepat di sebelah saya.

“Takut diperiksa dia” jelas si ibu pada saya, meskipun saya tak bertanya. Saya pun menunjukkan raut simpati dengan sebusur kecil senyum. Ingin rasanya saya berikan sebungkus gula-gula pada anak itu, agar berhenti menangis, tapi mengingat kami sedang berada di ruang tunggu dokter gigi ide bodoh itu dengan segera saya buang dari pikiran.

Tangisnya belum juga mereda, bahkan mengeras. Sang ibu berulang-kali mengencangkan ikat kain penggendong. Bagaimana mungkin dia bisa diperiksa jika tangisannya masih juga membuncah? Saya hanya bisa menyimpul, tangisan mungkin satu-satunya bahasa perlawanan yang bisa ia ucapkan saat pembendaharaan kata masih menjadi pusaran misteri baginya, sebuah isyarat bahwa kata “dokter” telah masuk dalam daftar gelap miliknya.

“Hari yang buruk bagi sang dokter…” saya membatin.

Tapi ternyata, tentu saja, saya salah.

Saat namanya dipanggil, sang dokter membawakannya sebuah balon: sebuah glove yang telah dipompakan udara ke dalamnya, mengikatnya pada sebuah sedotan plastik lalu memberikannya pada anak itu.

“Adek jangan nangis lagi, ini Bapak kasih balon buat adek yang mau diperiksa giginya…” ucap dokter menyimpul senyum.

Sang anak mengambil balon itu dengan kedua belah tangannya, dan perlahan tangisnya mereda…

picture is a courtessy of Médecins Sans Frontiéres

 

2 thoughts on “Menyela Tangis

Leave a reply to Rifqy Faiza Rahman Cancel reply